ANAK KAMPRET

Baru kali ini saya memberi judul di tulisan saya ini. Ya biasanya juga memberi judul, tapi setelah tulisannya selesai. Kali ini tidak, saya beri judul terlebih dahulu. Sebuah judul yang terngiang-ngiang sedari pagi tadi, dimana awal tulisan ini akan bercerita.

Ahaha. Ayo kita mulai.

Pagi ini, tanpa sengaja saya mendengar seorang tetangga saya berteriak ke tetangga saya yang lainnya. Jadi, sebenarnya ini pembicaraan antar tetangga yang sejatinya saya tidak terlibat dalam pembicaraan itu sama sekali. Ya ya ya. Sekali lagi sebuah alur pemikiran terbangun di dalam otak saya yang sederhana. Ya sebuah alur pikir yang sederhana. Oya, kenapa diawal saya sebut berteriak, karena mereka berbicara keras sekali, seperti berteriak-teriak. Aaahh.

Nah, gerangan apakah yang diteriakkan? Cukup simpel. Saya coba ulang, jadinya akan seperti ini :

Tetangga 1 : wah, mbahnya repot deh, cucunya nambah lagi, gak bisa istirahat.

Tetangga 2 : mesam-mesem

Ya itu cuplikannya.

Simpel bukan?

Dari situ apa yang bisa terpikir sehingga muncul judul ”anak kampret” ditulisan ini?

Oya, btw, kampret itu merupakan nama lain kalong atau kelelawar, tapi kampret disini tidak ada sangkut pautnya dengan binatang itu. Kampret disini ya kampret yang itu. Ahahaha

Sebenarnya, apa sie yang membuat saya begitu tertarik dengan sepotong pembicaraan itu?. Kalau diperhatikan memang seperti percapakan biasa-biasa saja. Tak lebih. Namun, kalau dilihat lebih jauh lagi, dengan melibatkan kebiasaan masyarakat pada umumnya dan nilai yang seharusnya terjadi namun dilupakan, ada banyak hal yang bisa kita tarik dari peristiwa itu.

Kita mulai dari mana ya? Ah iya dari sini saja. Dalam kebiasaan masyarakat sekarang yang bernafaskan kapitalisme dan mengandung perilaku konsumtif, setiap anak manusia cenderung berupaya untuk terus memenuhi kebutuhannya yang tidak akan pernah ada habisnya. Dengan cara apa? Mencari uang, tentunya dengan berkerja dan bekerja dan bekerja dan bekerja. Adakah yang mereka lupa? -Dalam hal ini golongan muda yang masih kuat dan mampu- tidak. Tidak ada sedikit pun yang mereka lupa terkait diri mereka sendiri. Jadi, kalau boleh dibilang pemenuhan kebutuhan diri sendiri sudah pasti merupakan keharusan. Ahahaha.

Salahkah seperti itu?tidak tidak saya tidak berniat untuk menyalahkan siapapun. Saya tidak berniat untuk mendiskriditkan siapapun. Lalu apa kaitannya dengan sesuatu yang kita bahas disini?

Begini, seperti disebutkan tadi, untuk pemenuhan kebutuhan diri sendiri tentu harus terpenuhi, salah satunya adalah bereproduksi. Ya manusia pasti tidak lepas dari keinginan itu. Dari situlah sesuatu yang “menarik’ muncul. Apa hayo? Bisa tebak?

Ahahahaha

Dari kegiatan mereka yang ikut serta dalam kekuasaan Tuhan dalam penciptaan seorang manusia dibumi tentunya akan bermunculan apa yang disebut sebagai buah hati mereka a.k.a anak mereka. Tapi dengan pola hidup yang bernafaskan kapitalisme dan bersendikan perilaku konsumtif seperti sekarang ini. Kemunculan seorang atau dua orang atau tiga orang atau berapapun orang dari mereka akan lebih memaksa mereka untuk terus menerus menambah penghasilan yang didapat. Selesai? Tidak. Dengan kegetolannya mencari lebih dari sesuap nasi tersebutlah, sesuatu itu muncul. Acap kali karena kesibukannya mereka tidak punya waktu untuk mengurusi buah hati mereka. Lalu dikemanakankah buah hati mereka itu? Jika dalam tatanan masyarakat yang sekarang, acap kali lagi anak tersebut diasuh oleh nenek atau kakeknya.

Terlihat seperti menyenangkan bukan? Seorang nenek membawa cucunya berkeliling kompleks pada sore hari yang cerah?

Menyenangkan? Coba dilihat ulang? Perhatikan baik-baik.

Yang saya dapat adalah seperti ini. Okay saya ulangi. Yang saya dapat lihat. Yang dapat saya lihat. Yang dapat saya lihat. Seperti ini yang terjadi, meskipun terlihat itu sebagai sebuah kewajaran dan jamak dilakukan oleh banyak orang ada sesuatu yang saya tidak bisa menerimanya. Ya mungkin masalahnya disaya. Tapi entahlah. Saya bilang disini saya tidak berniat menyalahkan orang ataupun sebaliknya. Entah.

Pernahkah terbayang seperti ini, nenek tersebut pastinya sudah tua. Sampai sejauh ini saya tidak pernah mendengar ada nenek yang berusia 25 tahun di Indonesia. Terkadang untuk mengurus dirinya sendiri yang sudah dihampiri penyakit dia sudah berat belum lagi harus mengurus cucu kesayangannya. Lalu jangan lupa, meskipun dia seorang nenek, dia masih memliki status sebagai istri, istrinya kakek. Hehe. Kewajiban untuk melayani seorang suami tentu tidak akan luntur karena dia sudah memiliki cucu. Ya mungkin kewajiban tidak lebih dari menyiapkan pakaian kakek, menyiapkan makan, membawakan air minum,dll tapi saya pikir untuk urusan ranjang sudah berhenti pastinya. Hmmmph tak tau pasti. Ahahaha. Sampai disini berarti si nenek mempunyai beban berat yaitu dirinya sendiri, suaminya dan cucunya. Oooh coba dibayangkan. Berat bukan?

Kalau suaminya sudah meninggal tentu bebannya akan berkurang bukan? Hahaha. Tidak.Sama sekali tidak. Justu makin menambah berat beban pikirannya. Dia akan hidup sendiri dalam kesendirian. Ditinggal mati oleh seseorang yang pernah menjadi bagian hidupnya. Seseorang yang menjaga dan melindunginya. Seseorang dimana dia bisa menangis dan tertawa sepuasnya. Hidup dalam kesendirian seperti itu sungguh seperti menghitung hari kematian saja.

Kemudian kita lihat pada anak si nenek itu. Ya anak yang menghasilkan cucu untuk neneknya. Anak yang memberikannya “pekerjaan yang manis”. Ahaha. Sungguh penyematan julukan anak kampret pada mereka merupakan suatu keharusan. Kenapa? Karena mereka hanya mau ”buatnya” aja. Tanpa mau mengurusnya. Ya mengurusnya, bukan hanya memberikan dia uang, makanan, pendidikan. Mengurus dalam arti sesungguhnya, mengurus yang sebenar-benarnya mengurus. Tidak seperti mengurus dalam artinya yang selama ini dilakukan oleh banyak orang.

Entah berapa orang anak muda yang tersesat –menurut saya ini lho- mengikuti kebanyakan orang, bahwa menjadi orang tua yang baik adalah orang tua yang selalu menyediakan segala sesuatu yang baik. Aaahh. Kenapa harus menyediakan sih. Menyediakan itu sama artinya dengan menyerahkan. Bukan memberi. Apakah seorang anak akan tumbuh dengan baik jika terus menerus disediakan yang terbaik? Tidak semudah itu. Yang diperlukan adalah memberi. Memberi kasih sayang tanpa wujud materi. Ya tanpa wujud materi.

Mengurus bukan hanya menyediakan. Mengurus dengan baik tidak identik dengan menyediakan yang terbaik. Aaahhh

.....

....

....

Oya, kenapa saya mengambil sosok nenek disini. Karena memang yang sering mendapat ”pekerjaan yang manis” itu adalah nenek. Bukan kakek.

.....

.....

.....

Aaahhh saya jadi berpikir ulang sampai disini. Mungkin anak-anak kampret itu berlaku seperti itu karena sedari kecil ditanamkan pengertian seperti itu. Aaahhh. Lalu buat apa sekolah tinggi-tinggi jika persoalan sederhana seperti ini tidak bisa dicarikan jalan keluar yang bijak?

Ahahahha.

Oiya. Sekolah tinggi untuk mencari uang banyak. Saya lupa.

Juli/14/2011

Saat badan saya menolak untuk tidur lebih awal

3 komentar:

  1. Jangan sampai kita ga kaya gitu ya nanti :P

    BalasHapus
  2. eh baru sadar..ko bilangnya jangan sampai kita ga kaya gitu ya nanti..berarti kita harus jadi anak kampret dong..haha

    salah tulis ya, mungkin maksudnya jangan sampai kita kaya gitu ya nanti..gitu?

    BalasHapus