Galau lagi Galau Lagi


It always has to be dark for the stars to appear. Itu kalimat yang saya baca dan mampu menggugah nurani saya untuk mangajak berdiskusi dan berpikir panjang. Padahal, saya sedang menikmati makan malam yang terdiri dari ikan, ikan, dan ikan, dan ingin bebas sejenak dari kelelahan berpikir. Apalagi hari itu, saya telah diporakporandakan oleh kehidupan, yang membuat batin dan raga lelahnya setengah mati.

Gelap yang terang

Sambil menyantap makan malam, timbul pertanyaan. Kelau kecemerlangan bintang dapat terlihat karena ada kegelapan sebagai latar belakangnya, apakah benar kegelapan itu tidak baik? Sama seperti kalau seseorang sedang memamerkan berlian atau jam tangan, umumnya dipakai kain beludru hitam sebagai latar belakang agar benda mati itu bisa tampak jreng-jreng.

Di dunia mode, sudah lama terbukti kalau hitam adalah warna penyelamat. Warna yang mampu menutupi banyak “dosa” pemakainya. Lemak di sekitar perut misalnya. Atau malah perut yang membuncit. Katanya juga, warna gelap ini punya efek bisa melangsingkan dalam sekejap. Katanya.

Nah, kalau begitu adanya, mengapa saya senantiasa dicekoki soal ketidakpantasaan sebuah sisi gelap? Malam itu, saat selesai membaca kalimat dalam bahasa inggris di atas, saya malah jadi bingung, betapa mulianya sisi yang katanya tidak terang itu. Yang senantiasa diangap tidak baik.

Di kehidupan yang nyata, bukankah karena ada musuh, maka ada istilah pahlawan. Bukankah karena ada maling dan koruptor, lantas ada yang bisa disebut pahlawan? Bukankah ada pelacur, kemudian mereka yang mengaku wakil Tuhan di dunia bisa jadi tampak begitu suci dan mulianya, dan menjadi pahlawan karena mampu mengembalikan mereka dari jalan yang tidak benar ke jalan yang benar? Bukankah karena gelap, maka putih kelihatan begitu sucinya?

Sama seperti kehadiran orang bodoh bisa membuat orang pandai terasa pandainya. Jadi, benarkah yang gelap itu tidak senonoh? Kalau bintang bisa terlihat kerlipnya karena kegelapan, siapakah yang pantas disebut pahlawan? Yang bisa disebut the most important part? Sering kali saya diceramahi kalau saya tidak boleh menyesali hidup karena hidup saya yang lama, yang gelap itu, adalah sebuah pelajaran yang mematangkan dan membuat saya naik kelas?

Gempor

Sambil menyantap makan malam dengan mata ikan yang menatap ke muka, saya makin galau. Belakangan saya makin dibuat linglung dengan banyak kalimat yang menggugah batin. Seperti contoh yang baru saja saya terima di BBM. Sebuah lagu anak-anak lawas yang legendaries. “Bintang kecil di langit yang biru”.

Saya ditanya balik, benarkah bintang ada di langit yang biru? Kemudian saya mencari di Google syair lengkapnya. Ada yang menulis di langit yang biru dan kebanyakan menulis di langit yang tinggi. Birukah langit di malam hari? Kemudian saya berpikir lagi, kalau latar belakangnya biru atau terang, kerlip si bintang tak akan muncul, tak akan terlihat. Jadi, apakah terang ditambah terang akan jadi lebih bagus?

Apakah saya hanya akan bagus kalau saya bergaul dengan mereka yang tak bernoda? Bukankah kalau sama terangnya, atau sama gelapnya, tak ada yang stand out, dan kemudian menjadi begitu biasa, begitu datar, dan tak ada gregetnya? Kata seorang teman wanita saya yang juga seorang pemimpin redaksi, “Average is boring”.

Nurani saya kemudian mengingatkan pada sebuah peribahasa berbunyi: malu bertanya sesat di jalan. Benarkah karena saya malu kemudian saya tersesat? Saya pikir lagi dengan IQ jongkok. Kalau saya malu menanyakan nama seseorang, saya bisa minta tolong lewat teman. Masalahnya, akan lebih lama menerima hasilnya ketimbang kalau saya tanya langsung kepada yang bersangkutan.

Jadi, malu hanya memperlambat sampianya informasi. Yang membuat saya tersesat adalah menanyakan pada sumber atau alamat yang salah. Kalau saya menanyakan IHSG kepada orang gila, saya akan tersesat. Saya tanya sesuatu kepada manusia yang pengetahuannya seimprit-imprit. Saya bakal tersesat. Sudah seimprit, dimanipulasi pula. Maka saya makin tersesat.

Tersesat itu karena yang ditanya bisa jadi mulai berpikir, jawaban apakah yang bisa menguntungkan saya tanpa memperdulikan kerugian yang bakal diterima oleh penunggu jawaban. Jadi, malu bertanya tak akan sesat di jalan, tetapi menanyakan kepada manusia yang pengetahuan dan kondisi jiwanya tidak sehat yang akan menyesatkan.

Setelah malam itu, saya membaca tulisan begini di social media. Orang tua marah itu hanya atas dasar demi kebaikan kita. Saya kesetrum dan berpikir secara sederhana karena kemampuan otaknya yaa… juga sederhana. Marah itu tidak baik. Titik. Mau itu dilakukan oleh orang tua kek, setengah tua keke, setengah muda kek, marah adalah perilaku yang tidak baik. Mengapa kalau orang tua marah selalu dikonotasikan baik?

Masih banyak hal yang belakangan menggalaukan hati. Minggu depan saya mau melanjutkan kegalauan ini setelah membaca buku cara menjadi sukses. Saya mau istirahat saja dulu. Ternyata lelah batin itu lebih parah efeknya dari hanya sekadar badan yang gempor.

Samuel Mulia, Kompas, Minggu 3 April 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar