Intuisi:Penggalan rasa tersembunyi

Berjuang melawan perih yang membekas. Menyembunyikan semua dari pandangan tajam manusia. Meruntun pujian kepedihan menjadi untaian panjang tak berakhir. Menanggapinya dengan senyum getir. Ironi pencarian jiwa pendamping yang terluka. Erru.


Erru, tak ada yang istimewa dari nama itu. Hanya sepenggal kata lalu ditambah kata lain. Sungguh tak ada sesuatu yang akan mengusik siapa pun yang mendengar nama itu tuk mencari tahu lebih lanjut siapa empunya nama tersebut.

Adakah yang dirasa perlu dilukiskan dari Erru. Ia tak jauh berbeda dengan kita. Mata dua, telinga dua, hidung satu dengan dua lubang, dan mulut satu. Tak ada yang berbeda secara keseluruhan selayaknya manusia. Hanya satu yang berbeda, yaitu jalan hidupnya. Tapi, bukankah memanng jalan hidup tiap anak manusia ditakdirkan berbeda-beda.

Ari, sahabat terbaik Erru. Tak ada sangkal untuk hal itu. Keduanya telah saling mengenal untuk waktu yang cukup. Keduanya dekat. Keduanya sama. Keduanya bersahabat. Keduanya mengenal Amara, teman sebaya mereka. Keduanya, bersama, mencintai Amara. Tak sama antara mereka, Erru menyembunyikannya, Ari menampakkannya. Tiada yang lebih sakit kecuali mendengar Ari amat sangat mencintai Amara. Begitu nampak dimatanya Amara yang sangat mempesona. Terkutuklah Erru, ia menyimpan rapat-rapat jiwanya, menutup lekat-lekat mulutnya agar tak ada suara yang keluar darinya. Ia hanya mampu menahan rasa. Meratap dalam-dalam tak berdasar. Tak seorang pun yang tahu mengenai hal itu, tak terkecuali Ari.

Suatu waktu, disaat senggang, Ari mencari tahu tentang pujaannya pada Erru. Makin bertambah sakit rasa yang diderita Erru.

“maniskah Amara?“

“kau lihat?“

“ya“

“lalu?“

“dia baik?“

“tentu“

“ya, jika tidak tak mungkin aku mencintainya“

”jujurkah”?

”jelas, kau ragu?”

”tak ada sangkut paut padaku”

Erru tersayat mendengarnya. Bersabar ia mencoba, terus. Merenung ia dalam-dalam. Pantaskah ia berada diantara Ari dan Amara. Ari terlampau mencintainya. Ia pun begitu, hanya saja ia tak ingin melukai hati sahabatnya itu. Semakin ia bersamanya, semakin ia berbohong pada dirinya sendiri, semakin ia sakit menderanya. Terlebih lagi Amara. Ia terlalu baik, terlalu manis, terlalu Erru mencintainya. Erru menciut nyali karenanya.

Padahal, Amara tak jauh beda dengan gadis lainnya. Tapi, entah kenapa ia begitu ia ciut menghadapinya. Perasaan cintanya yang tak terbahasakan yang selalu menarik Erru tuk terus menerus mencintai Amara. Menancapkan dalam-dalam kekuatan hatinya. Erru tak mampu ungkapkan semua. Erru memilih tuk bungkam.

Tak lama berselang Ari dan Amara mengikat diri. Erru tak kuasa lagi bertindak kesedihan menumpuk. Kebahagiaan memuncak. Ia tak mampu jelaskan perasaan apa yang ada dihatinya kini. Ia gamang. Ia bingung. Ia linglung. Ia tertunduk lesu dalam kepedihan yang hanya ia tahu sendiri saja.

Erru terus menyesalkan diri. Terus menikam jantung. Terus menyayat jiwa. Kini tak ada lagi yang dapat ia perbuat. Pandangan Erru, Amara dan Ari begitu bahagia, tanpanya mereka akan terus bahagia. Erru perlahan menarik diri, coba menghilang perlahan.

Pelbagai cara Erru tempuh tuk coba lepaskan bayangan Amara yang menggelanyut dalam pikirannya yang tak jelas aralnya. Tak sanggup Erru melepas bayangnya yang teramat indah itu. Amara begitu mengikat hatinya, begitu menancapnya dalam qalbunya. Ia makin terseret perasaannya yang gamang. Taak sadar, Erru perlahan berubah. Ari menyadarinya.

“kenapa?”

“apa?”

“kau?”

“aku?”

“sikapmu”

“salah?dimana?”

“tidak, hanya beda”

“perasaanmu”

“kuharap”

Terus Erru membohongi diri. Menutupi semuanya. Mengubur angannya. Bertahan dari sakit yang bertubi-tubi. Hidupnya terperangkap gelisah. Berhari-hari hanya pedih yang disantapnya. Hanya sendu yang direngguknya kala haus. Tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya mampu termenung dan meratap.

Suatu hari, Erru tak lagi sanggup menahannya. Ditemuinya Ari. Takut, malu, sedih, bimbang, rendah, gundah, bercampur satu dalam hatinya. Dikumpulkannya kepingan-kepingan keberanian tuk menggerakkan bibir dan lidahnya.

“maafkan aku”

“apa?”

“kau, dan juga Amara”

“celakah?”

“tidak, hanya sempurna”

“jadi?”

“hanya aku..”

“kenapa?”

“tak sanggup aku”

“tenanglah”

“kau tak tahu!”

“tenang, apa yang kau bicarakan?”

“maaf, aku gamang”

“tak apa”

“aku harus jujur?”

“kenapa tidak?”

“kau boleh menghinaku setelahnya”

“entahlah”

“baik, aku mulai”

“ya”

“aku cinta Amara”

“tidak”

“ya”

“kau bohong”

“tidak, aku jujur”

“kenapa?”

“aku takut ia hilang bagiku”

“terlambat”

“aku tahu”

“lalu?”

“aku pergi”

“kemana?”

“entahlah”

Setelahnya, Erru makin menghilang. Tak ada lagi suara dan lakunya antara Amara dan Ari. Di dasar hatinya, menaha sakit yang sangat. Tapi harus dilakukan. Ia hanya ingin Amara bahagia. Hanya itu tak lebih. Teramat sulit, ia putuskan pergi. Erru meninggalkan semua. Melepaskan ingatannya. Ingatan akan seorang yang teramat dicintainya, Amara maharani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar